MAKALAH
PERTENTANGAN ASWAJA DAN MU’TAZILAH
Disusun Untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Aswaja
Dosen Pengampu: Dra. Hj. Nurul Maziyah, M.M.
Disusun Oleh :
Adi Utomo
Ahmad Sunani .M.
Nufian Dwi Sancoko
Ervika .W
Anis Safitri
Siti Fatimah
Nurul Latifah
Nurul Fajriyah
Maftuhatul Alyati
Putri Roziqotul .F.
INSTITUT ISLAM NAHDLATUL ULAMA’ (INISNU) JEPARA
TAHUN 2011 - 2012
PENDAHULUAN
Aqidah atau keyakinan adalah suatu nilai yang paling asasi dan prinsipil bagi manusia. Aqidah lebih mahal dari segala sesuatu yang dimiliki oleh manusia. Aqidah yang sudah mendarah daging bagi pemeluknya tidak bisa dibeli atau ditukar dengan benda apapun.
Manusia tidak bisa melepaskan dirinya dari kepercayaan dan keyakinan. Tanpa adanya kepercayaan dan keyakinan, mustahil manusia bisa hidup. Orang tidak akan berani makan dan minum sebelum ia merasa yakin bahwa makanan dan minuman itu aman baginya. Diantara bermacam kepercayaan dan keyakinan, kepercayaan terhadap dzat ghaib Yang Maha Kuasa menempati posisi yang paling tinggi dan paling dalam di dalam lubuk hati.
Akidah Islamiah secara garis besar terbagi kepada dua aliran yaitu Ahlus Sunnah Waljama’ah dan Ahlul Bid’ah. Ahlus Sunnah ada dua versi, yaitu versi salaf (tradisional), dan khalaf (modern). Kemudian Ahlul Bid’ah yang terbesar salah satunya adalah Mu’tazilah.
Dalam makalah ini, kami akan mencoba membedah tentang Aswaja dan Mu’tazilah, kemudian mengkaji pertentangan – pertentangan yang ada di dalam ajaran kedua aliran tersebut.
PEMBAHASAN
PERTENTANGAN ASWAJA DAN MU’TAZILAH
A. Mu’tazilah
Kaum Mu’tazilah adalah golongan yang membawa persoalan - persoalan teologi yang lebih mendalam dan bersifat filosofis daripada persoalan – persoalan yang dibawa kaum Khawarij dan murji’ah. Aliran Mu’tazilah (memisahkan diri) muncul di Basra, Irak, di abad 2 H. Kelahirannya bermula dari tindakan Washil bin Atha’ (700 – 750) berpisah dari gurunya Hasan al-Bashri karena perbedaan pendapat.
Pada saat Imam Hasan al-Bashir sedang mengajar di Masjid, ada seseorang bertanya tentang orang yang berdosa besar, apakah masih beriman atau telah kafir. Beliaupun diam sejenak untuk berfikir. Saat itulah Washil bin Atha’ berpendapat bahwa muslim berdosa besar bukan mukmin, bukan kafir yang berarti ia fasik. Kemudian ia membentuk jama’ah baru di sudut lain masjid. Imam Hasan al-Bashir berkata “Ia telah I’tizal (mengasingkan diri) dari kita.” Jadi mu’tazilah adalah orang yang mengasingkan yang mengasingkan dari Imam Hasan al-Bashir,sesuai dengan perkataan beliau tersebut.
Tokoh – tokoh Mu’tazilah yang terkenal ialah :
1. Washil bin Atha’, lahir di Madinah, pelopor ajaran ini.
2. Abu Huzail al-Allaf (751 - 849), penyusun 5 ajaran pokok Mu,tazilah.
3. an-Nazzam, murid Abu Huzail al-Allaf.
4. Abu ‘Ali Muhammad bin ‘Abdul Wahab / al-Jubba’I (849 - 915).
Ajaran Mu’tazilah kurang diterima oleh kebanyakan ulama’ Sunni karena aliran ini beranggapan bahwa akal manusia lebih baik dibanding kebanyakan umat Islam. Kaum Mu’tazilah tidak disukai juga karena sikap mereka yang memakai kekerasan dan menyiarkan ajaran – ajaran mereka di permulaan abad ke-9 Masehi.
Namun pada zaman ke Kholifahan al-Ma’mun, aliran Mu’tazilah sempat mengalami puncak kejayaan, karena aliran Mu’tazilah diakui sebagai mazhab resmi yang dianut Negara.
Sepeninggal al-Ma’mun, aliran Mu’tazilah mengalami perlemahan yang disebabkan al-Mu’tasim dan al-Wasiq (824 – 847 M) sebagai pengganti al-Ma’mun tidak berani menjatuhkan hukum bunuh atas dirinya.
B. Ahlu Sunnah Waljama’ah (ASWAJA)
Ahlu sunnah waljama’ah ialah orang –orang yang mengikuti jejak Rasulullah dan mengikuti jejak para sahabat beliau, tidak hanya sahabat Khulafaur Rasyidin yang empat, tetapi juga mengikuti jejak para sahabat lainnya.
Sesuai dengan sabda Nabi SAW dalam hadistnya :
اَصْحَا بِى كَالنُّجُوْمِ بِاَيِّهِمُ اقْتَدَيْتُمْ اِهْتَدَيْتُمْ
“Para sahabatku bagaikan bintang – bintang (di langit), dengan yang mana pun kamu ikuti niscaya memperoleh petunjuk.”
Jadi, mengikuti jejak para sahabat, baik sahabat besar maupun sahabat kecil adalah perbuatannya kaum ahlu sunnah waljama’ah dari masa ke masa, bahkan sampai dengan hari kiamat insya ALLAH.
Ada beberapa pendapat para ahli tentang kapan muncul istilah Aswaja, diantaranya :
Pertama, ada yang mengatakan bahwa istilah tersebut telah lahir sejak zaman Nabi Muhammad SAW . Bahkan beliau sendiri yang melahirkan melalui sejumlah hadist yang diucapkan.
Kedua, yakni Aswaja lahir pada abad II Hijriah, yaitu di masa puncak perkembangan ilmu kalam (teologi Islam) yang ditandai dengan berkembangannya aliran modern dalam teologi Islam yang dipelopori oleh kaum mu’tazilah (rasionalisme). Imam Abu Hasan al-Asy’ari tampil dalam membela akidah Islamiah dan mengembalikannya kepada kemurnian yang asli. Dari pergerakan beliau itulah kemudian para pengikutnya menyebut sebagai "Ahlus Sunnah Waljama’ah”.
Ajaran Islam adalah sempurna yang bersifat universal, tentunya membutuuhkan kajian dan penafsiran yang cermat supaya menghasilkan akurasi kesimpulan hukum yang tepat. Maka Aswaja juga berpedoman terhadap pemikiran para mujtahid yang dianggap lebih mampu dalam menginterpretasi dari sumber utamanya.
Aswaja dalam penerapan ajarannya sangat kondisional dengan lingkungan, sehingga terjadi akulturasi dengan kultur dan sosial masyarakat sekitarnya. Dengan kelenturannya menjadikan Aswaja dinamis dan menjadi inspirasi umat karena responsive terhadap segala permasalahan umat.
C. Pertentangan
1. Ketauhidan
Kaum mu’tazilah menafikan (menyangkal) sifat-sifat ALLAH. Mereka beranggapan seandainya diakui sifat - sifat ALLAH yang qodim berarti ada banyak sifat qodim. Mereka juga mengatakan bahwa tindakan dan perbuatan makhluk bukanlah diciptakan oleh ALLAH melainkan oleh makhluk itu sendiri. Jadi, menurut mereka ALLAH hanya menciptakan makhluk, lalu makhluk itu menciptakan pekerjaan sendiri.
Aswaja mentauhidkan ALLAH beserta sifat – sifat-Nya. Yang qadim adalah zdat ALLAH. Sedangkan sifat – siifat ALLAH adalah sifat dari zdat yang qadim tersebut. Aswaja beranggapan bahwa perbuatan dan tindakan makhluk bukanlah semata - mata diciptakan oleh makhluk itu sendiri, tetapi di dalamnya juga terdapat campur tangan ALLAH atau kehendak ALLAH dengan berpedoman :
لاَحَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ اِلاَّبِاللّْهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيْمِ
2. Keadialan Tuhan
Adil artinya ALLAH Maha Adil, dan kaum mu’tazilah beri’tikad ALLAH wajib berlaku adil terhadap hamba-Nya. Keadilan-Nya itu mengharuskan manusia memiliki kekuasaan untuk berbuat sesuai dengan kehendaknya sendiri. Karena manusia itu menciptakan perbuatannya sendiri, maka manusia bertanggung jawab atas perbuatannya, baik berupa perbuatan baik maupun perbuatan buruk.
Aswaja beri’tikad bahwa ALLAH selalu adil dalam tindakan-Nya dan tidak pernah dholim. Pembalasan surga bagi yang taat adalah berkat karunia-Nya, sedangkan pembalasan neraka bagi yang ma’siat adalah berdasarkan keadilan-Nya. Semua tindakan ALLAH terhadap hamba-Nya berkisar antara fadhlih (karunia) dan adlih (keadilan). Aswaja beri’tikad semua itu milik ALLAH, apapun yang diperbuat terhadap makhluk atau hamba adalah hak-Nya, tidak ada satupun yang menggugat dan mengatakan ALLAH itu zdalim.
3. Janji & ancaman (wa’ad & wa’id)
Wa’ad ialah janji positif, seperti janji pahala. Wa’id ialah janji negatif, seperti janji siksaan. Mu’tazilah berpendapat bahwa ALLAH wajib menepati janji dunia maupun akhirat sesuai perintah dan larangan-Nya. Jadi, apa yang diperintahkan ALLAH kalau dilakukan mendapat wa’ad (pahala). Sebaliknya kalau ditinggalkan,mendapat wa’id (siksa).
Menurut kaum Ahlus Sunnah wa’ad dan wa’id ialah janji ALLAH yang azali (qadim) sebelum makhluk berwujud. Jadi, apa yang diperoleh hamba berupa pahala dan siksa sesuai dengan wa’ad dan wa’id azali (qadim), bukan karena perbuatannya dalam melaksanakan perintah ataupun meninggalkan larangan.
4. Kedudukan antara Dua tempat (manzilah baina manzilataini)
Manzilah baina manzilataini ialah posisi antara kafir dan mukmin. Kaum mu’tazilah beri’tikad bahwa pelaku dosa besar bukan mukmin dan bukan pula kafir, melainkan berada di antara keduanya. Yaitu berada di kedudukan fasiq. Pendapat ini merupakan jalan tengah antara vonis yang dijatuhkan oleh pengikut Khawarij yang mengkafirkan pelaku dosa besar, dengan pendapat kaum Murjiah yang menganggap pelaku dosa besar tetap sebagai seorang mu’min. Washil bin Atho berpendapat bahwa pelaku dosa besar yang mati sebelum bertaubat akan menjadi penghuni tetap neraka. Ia kekal di dalamnya, namun dengan memperoleh keringanan tertentu.
Golongan Ahlus Sunnah tidak mengenal istilah tersebut bagi pelaku dosa besar. Pelaku dosa besar tetap disebut mukmin dan bukan kafir. Ia adalah fasik atau mukmin ‘ashi, seorang mukmin ‘ashi kalau mati sebelum bertobat, harus masuk neraka lebih dahulu kemudian dipindahkan ke surga.
5. Amar ma’ruf nahi munkar
Kaum mu’tazilah beri’tikad bahwa amar ma’ruf nahi munkar harus secara radikal dan kalau perlu dengan mengangkat senjata. Mu’tazilah memberikan perhatian besar terhadap masalah tersebut. Hal ini karena menurut mereka, pada saat itu ahluz zindiq (secara umum diartikan orang yang menghalalkan segala cara; kafir batinnya, tetapi secara lahir menampakkan keimanan) tengah merajalela di kalangan masyarakat, bahkan telah tersebar di seluruh pelosok wilayah Islam.
Sedangkan kaum Ahlus Sunnah dalam beramar ma’ruf nahi munkar harus dengan cara lunak dan kalau tidak berhasil, baru dengan kekerasan. Jadi, tidak langsung dengan menggunakan kekerasan.
PENUTUP
Kesimpulan
Mu’tazilah mengandalkan akal sebagai sumber kebenaran. Sedangkan akal seseorang adalah berbeda – beda satu sama lainnya. Sehingga pada zaman sepeninggal al-Ma’mun terjadi perpecahan antara tokoh – tokoh Mu’tazilah yang menyebabkan kehancuran terhadap faham itu sendiri.
Sedangkan di Ahlus Sunnah, mereka meletakkan akal di bawah Al-qur an dan Hadist dalam menentukan kebenaran. Ini membuat perbedaan – perbedaan antara tokoh –tokoh aswaja. Namun tidak menyebabkan kehancuran terhadap faham tesebut. Karena masih mempunyai dasar Al-qur an dan Hadist sebagai pedoman utama.
Kita sebagai pengikut Aswaja, diharapkan mempunyai cara berfikir seperti para pendahulu dan jangan serta-merta memberi penilaian sesat terhadap faham yang tidak sama dengan kita.
DAFTAR PUSTAKA
- Muhammad, Dr. Mustofa Asy-syak’ah, Islam Tidak Bermazhab, Gema Insani, Jakarta,1994
- Syihab Drs. Tgk. H. Z. A. , Akidah Ahlus Sunnah ”Versi Salaf Dan Posisi Asya’irah Di Antara Keduanya”, PT Bumi Aksara, Jakarta, 1998